Thursday, July 31, 2008

Homophobia di Media

Homophobia dalam Media

Maraknya pemberitaan tentang kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan –yang kebetulan gay- seolah menyudutkan kaum yang termarginalkan ini. Peristiwa yang seharusnya kriminal murni dikupas habis setiap hari dari sudut pandang bahwa gay adalah agresif, posesif, tidak stabil, dan merupakan penyakit sosial. Apabila ini terus berlanjut, bisa jadi, akan meningkatkan homophobia dalam masyarakat. Lantas, sudah pasti, perjuangan kaum minoritas di negeri ini akan kian menemui jalan terjal.
Ryan, sang pelaku mutilasi, memang benar telah memakan korban –yang kebetulan juga gay- dengan alasan cemburu dan pengambilan kekayaan orang lain. Kalau dilihat dari motif pembunuhan yang dilakukan dapat diketahui bahwa motif ini sangatlah manusiawi dan natural. Seharusnya, sudut pandang yang dipakai bukan karena dia seroang gay yang membunuh gay lainnya – yang kemudian diketahui bahwa tidak semua korbannya adalah gay- tetapi perampokan/perampasan harta orang lain dan kecemburuan juga dapat terjadi pada masyarakat heteroseksual –masyarakat “normal”.
Berdasarkan penyidikan yang dilakukan aparat ditemukan 5 korban dalam kasus ini. Dari kelimanya, hanya satu di antaranya yang dilatarbelakangi kisah romantisme sejenis. Selebihnya, hanya kriminalitas yang dapat terjadi dan dilakukan oleh siapa saja tanpa mempedulikan ketertarikan seksualnya. Ini menandakan bahwa pembunuhan itu dipicu oleh kondisi tidak stabil pelaku. Sebuah kondisi yang, sekali lagi, dapat juga dimiliki oleh kelompok masyarakat kebanyakan. Celakanya, inilah yang sedikit sekali diungkap dalam media.
Sudut pandang dalam pemberitaan yang tidak proporsional ini tentu saja akan menjadikan masyarakat awam yang belum tentu semuanya memahami dunia gay akan kian merasa cemas, takut, berprasangka negatif, melecehkan/menjadikan gay sebagai objek penderita, dan tidak menghargainyay sebagai pilihan seksual. Kondisi semacam ini disebut dengan homophobia, yang menurut Charles Zastrow, didefinisikan sebagai suatu kondisi kecemasan ketika berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang memilki orientasi seksual kepada sejenisnya –gay dan lesbian.

Gay: Variasi orientasi seksual atau penyakit?
Pemberitaan yang –lagi-lagi- tidak proporsional tentang kasus ini pun seolah diamini oleh sejumlah pakar. Misalkan, kriminolog UI, Andrianus Meliala dalam salah satu situs internet mengungkapkan bahwa hubungan sesama jenis bukan merupakan hubungan yang sehat, hanyalah kisah Platonist, yang tidak mengenal perselingkuhan sehingga menyebabkan pelakunya posesif. Faktor terakhir inilah yang kemudian menguap di media terkait kasus mutilasi Ryan. Pernyataan ini juga diperkuat oleh psikolog, Liza Malrielly Djaprie, yang menyatakan bahwa gay/lesbian merupakan hal yang bisa disembuhkan asal bukan bawaan lahir. Dari kedua pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa sudut pandang yang dipakai adalah homophobia dan gay sebagai sebuah penyakit –merujuk pada kata “disembuhkan”.
Berbeda dengan pengamatan di atas, Zastrow mengungkap bahwa berdasar penelitian Kinsey di Amerika ternyata sekitar 50% warganya memilki pengalaman melakukan hubungan seksual sejenis. Dalam catatan Gaya Nusantara, salah satu organisasi gay di Indonesia, jumlah gay di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta orang. Jadi, singkatnya gay adalah bukan penyakit melainkan semacam bentuk dari variasi orientasi seksual. Orientasi seksual secara mudah dapat diartikan sebagai ketertarikan individu terhadap jenis kelamin tertentu. Apabila gay adalah sebuah orientasi seksual maka ini bukanlah penyakit. Hal inilah yang kemudian secara tegas WHO menyatakan bahwa homoseksual bukanlah penyakit.
Sikap Masyarakat: Normal Vs Tidak Normal
Gay –dimengerti sebagai lelaki yang menyukai lelaki, bukan waria- di Indonesia dikarakterisasikan sebagai kelompok yang lebih senang menyembunyikan identitasnya. Alasan norma dan nilai-nilai agama menjadi pertimbangan untuk tidak membuka diri (come out) –ditambah lagi dengan karakter kebudayaan kita yang judgmental. Ini dapat dipahami mengingat pandangan masyarakat yang belum bisa –tidak mau?- menerima gay dengan alasan tersebut di atas. Kondisi yang belum “terinformasikan” ini akan menjadi hal yang berpotensi terhadap munculnya homophobia. Bahkan, Dr Mamoto Gultom, konsultan lembaga PBB untuk UNAIDS, menyatakan bahwa secara kualitatif hampir semua orang Indonesia mengidap homophobia.
Persepsi masyarakat yang hanya memilah orientasi seksual menjadi dua bahwa lelaki harus dengan perempuan dan sebaliknya melahirkan sebuah konstruksi bahwa selain pilihan itu adalah tidak normal. Padahal, sebenarnya perilaku –gay- ini dapat dilihat dalam beberapa perspektif.
Pertama, homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik –secara medis disebut dengan biogenic. Pada jenis ini kecenderungan gay telah ada dalam diri seseorang semenjak dilahirkan sehingga, bisa dikatakan, di luar kontrol yang bersangkutan. Ke dua, gay yang disebabkan karena salah asuh sehingga berpengaruh terhadap orientasi seksualnya. Kesalahan pola asuh ini dapat berupa kehilangan figur/panutan tentang peran laki-laki dan perempuan, trauma seksual yang dilakukan oleh kelamin sejenis, atau pun pengalaman ingin coba-coba.
Ke tiga, gay sebagai gaya hidup. Individu menjadi gay karena ingin diterima dalam pergaulannya. Dengan lain kata, pengaruh lingkungan pergaulan dapat menjadikan seseorang berubah orientasi seksualnya. Inilah yang juga sering disalahkaprahkan bahwa gay dapat menular. Gay bukanlah penyakit sehingga tidak akan menular. Berubahnya orientasi seksual karena pergaulan merupakan sebuah keinginan yang dapat dimiliki –atau dipilih- oleh setiap individu.
Dari uraian di atas, jelas bahwa munculnya pemberitaan tentang agresivitas yang direpresentasikan media sebagai kondisi psikologis kaum gay secara berkelanjutan akan berkontribusi membentuk stereotype negatif terhadap kaum gay. Dengan kata lain, pemberitaan ini akan memberikan pandangan yang tidak sepenuhnya benar kepada masyarakat tentang kaum gay. Kondisi inilah yang turut memicu homophobia menjadi lebih akut dalam masyarakat. Semestinya, kasus Ryan dalam konteks ini, dimaknai sebagai suatu tindakan kriminal murni dan tidak dilihat dari sudut pandang ke-gay-annya.
Abdul Rohman
Prodi Ilmu Komunikasi FPSB - UII

Syariah PR

Syariah PR

Aktivitas Public Relations (PR) selama ini dianggap sebagai kegiatan menjual, senyum, memberi amplop, dan menutupi fakta melalui kebohongan. Paradigma lama itu sudah seharusnya tergeser oleh yang baru. Prinsip-prinsip syariah sudah semestinya ikut mewarnai aktivitas pembentukan reputasi dan imej ini.
===============================================================
Prinsip syariah sebagai sebuah fenomena yang kian marak mewarnai bidang ekonomi dan pemasaran seharusnya juga diterapkan pada bidang PR. Isu seputar spiritual marketing yang mulai berdengung dan sudah menunjukkan keberhasilannya, sebagai misal adalah MQ Corporations & Hotel Sofyan Jakarta, sudah seharusnya diadaptasi pada lini kehidupan berbisnis yang lain, tak terkecuali pada bidang PR.
Prinsip syariah dalam pembentukan citra dan reputasi ini dapat ditempuh melalui beberapa strategi. Pertama, CLARITY strategy (ta’yiin). Akar dari prinsip syariah PR adalah kejelasan. Jika seorang Public Relations Officer (PRO) secara elegan dapat memberi kejelasan melalui aktivitas komunikasi tentang korporat yang diwakilinya akan mendorong stakeholders untuk kian percaya dan tertarik untuk menjalankan aktivitas bisnis berikutnya.
Melalui pemberian informasi dan komunikasi secara kontinu dan dua arah akan menghindarkan usaha untuk mencari informasi yang tidak tepat tentang korporat. Selanjutnya, dengan kejelasan juga akan menghindarkan timbulnya fitnah dan ghibah. CLARITY strategy ini berusaha mendefinisikan pesan PR sebagai kegiatan inisiasi pemberian informasi kepada stakeholders. Pemberian informasi ini bukanlah lip service melainkan perihal yang benar-benar dilaksanakan.
Kedua, FAITH strategy. Jika seorang PR tidak memiliki kepercayaan atas apa yang dilakukannya maka kebenaran yang universal pun tidak akan tersampaikan. Hasilnya, PRO akan mengalami kecenderungan untuk sekedar memberi informasi yang bersifat deseptif. Komunikasi perihal korporat hanya akan menjadi searah, memuji-muji korporat, dan mempromosikan kepentingan sendiri. Secara praktis, ketika PRO tidak meyakini kemampuannya untuk menciptakan publisitas melalui pemberitaan di media maka jalan pintas memberi amplop kepada aktivis media pun diambil. Padahal, prinsip syariah demikian.
Ketiga, WISDOM strategy. Strategi ini bermakna bahwa PRO dituntut untuk dapat berbagi kebijaksanaan (hikmah) dengan pelaku bisnis lain maupun seluruh stakeholders korporat. Prinsip berbagi hikmah ini tentunya dilakukan melalui pengusahaan pendekatan personal yang bertujuan untuk menjadikan manfaat bagi pihak lain. Hikmah kesuksesan dan aktivitas kebaikan (good corporate governance, corporate social responsibility, maupun charity) dikomunikasikan ke segenap stakeholders bukan bermaksud untuk pamer (riya’) tetapi lebih kepada untuk memberikan contoh agar kebaikan itu dapat ditiru. Dengan demikian, strategi ini pun turut mendorong adanya sinergi dan keinginan bersaing dalam mencipta kemaslahatan bagi stakeholders. Artinya, pada fase ini juga akan ditemukan satu inspirasi dan pencerahan bagi PRO dan korporat.
Ke empat, TAKE ACTION strategy (’amal). Setelah ketiga prinsip tersebut di atas terinternalisir dalam kinerja PRO yang harus dilakukan adalah menjalankan semua program secara tepat. Sebuah visi aktivitas PR yang telah terencakan seyogyanya dijalankan dalam ritme kejelasan, kebijksanaan, dan kepercayaan. Kemampuan untuk menyampaikan segenap rencana komunikasi bertujuan untuk melayani stakeholders bukan sekedar membuat stakeholderss senang. Untuk itu diperlukan PRO yang berintegritas, percaya diri, dan menikmati aktivitasnya.

Self-Regulation dalam Konsumsi Media

Self-Regulation dalam Konsumsi Media

Self-Regulation diartikan sebagai sebuah mekanisme mandiri dalam diri individu untuk memilih, memilah, memberikan kecenderungan dan sikap yang didasarkan pada sejumlah komponen personal dan sosial yang dimikinya seperti pengalaman, tingkat pendidikan, dan latar belakang lingkungan pergaulan. Faktor ini harus dimiliki oleh setiap individu untuk menjadi konsumen media yang cerdas. Konsumen media yang cerdas adalah konsumen yang mampu menggunakan media didasarkan unsur kesesuaian antara kepentingan individunya dengan kepentingannya sebagai makhluk sosial. Penyesuaian ini terjadi melalui sebuah cybernetic system dalam diri individu yang memungkinkan terjadinya pengolahan informasi dari luar dengan segenap tingkatan dan ragam nilai yang dimilikinya.
Tak hanya ragam media cetak yang kian tersegmen pasarnya tetapi juga sejumlah media elektronik baik berlangganan atau pun tidak yang kian beraneka rupa sajiannya. Maraknya perkembangan pilihan media dewasa ini tentunya berkontribusi pada munculnya sejumlah pilihan informasi yang ingin kita terima. Lantas, apakah kita sudah cukup siap untuk menjadi konsumen media yang cerdas dalam memilih?
Untuk menjadi konsumen media yang cerdas dalam memilih dan memilah informasi yang disampaikan media, setiap individu dituntut untuk melakukan self-sensor berdasarkan self-regulation yang dimilikinya. Hal ini bergantung pada tingkat kecerdasan personal dalam memaknai pesan media, intensitas komunikasi dengan lingkungan pergaulan, pengalaman dan pendidikan.
Semakin tinggi kualitas self-regulation yang dimiliki oleh individu maka peraturan formal seperti sensor, pemblokiran situs internet, maupun penutupan sejumlah kanal komunikasi tertentu dengan tujuan (dalih) untuk melindungi kepentingan publik tidak lagi diperlukan. Selain mempertimbangkan efektivitasnya, setiap individu memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama dalam mengakses, menerima, maupun menyebarkan informasi.
Self-regulation, bukan information restriction
Kondisi geografis, demografis, maupun psikografis masyarakat Indonesia yang beragam berimplikasi pada perbedaan kemampuan untuk menumbuhkembangkan self-regulation per individu. Karena ada perbedaan tingkat self-regulation inilah solusi pemblokiran dan sensor merupakan langkah yang memukul rata /menafikan keragaman kemampuan individu tersebut. Semestinya solusi yang ditawarkan bukanlah hal semacam itu melainkan cukup pengualifikasian dan kesempatan bersyarat. Artinya, setiap individu tetap terlindungi haknya atas informasi dengan sejumlah kualifikasi dan persyaratan tertentu. Hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah kualifikasi film sebagai reaksi atas tindakan lembaga sensor. Perspektif lain yang muncul akibat pembatasan (pemblokiran) informasi akan merangsang individu untuk mencari infromasi melalui media lain di luar sistem. Kecenderungan untuk merusak/menerobos sistem (contoh system hacking) akan muncul.
Segala macam peraturan dapat dibentuk dan diberlakukan tetapi penumbuhan self regulations jauh lebih penting. perubahan kognitif dan pendidikan tentang media jauh lebih tepat daripada pemberlakuan undang-undnag yang kurang mempertimbangkan kemampuan individu dalam memaknai pesan dan kecenderungan sikap atas suatu fenomena. Singkatnya, kebijakan yang diambil –sensor dan pemblokiran- bukanlah sebuah upaya untuk menumbuhkan self-regulation dan pendidikan khalayak melainkan represi penguasa terhadap hak warga negara. Perlakuan terhadap individu yang telah dewasa tentu saja tidak dapat disamakan dengan anak-anak.
Penonton anak-anak
Perlindungan terhadap konsumen media pada kategori anak-anak inilah yang harus menjadi fokus perlindungan utama. Anak-anak belum memiliki referensi yang cukup untuk dapat menetapkan self-regulation sendiri. Perlindungan terhadap anak dalam konsumsi media menjadi tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga setiap elemen masyarakat terutama keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dikenal anak-anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi pada 2007 lalu, sekitar 62 persennya menyajian kekerasan.
Cara perlindungan anak terhadap media bisa dilakukan baik dengan aktivitas melek media yang secara spesifik ditujukan untuk mereka maupun aktivitas sejenis yang ditujukan untuk orang tua. Pada fokus perlindungan untuk anak inilah penguasa dapat memberikan perannya dengan pemberlakuka sejumlah perangkat hukum.
Bagaimana menumbuhkan self-regulation?
Pertama, pahami realitas yang muncul dalam media. Kenyataan di media tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya karena sajian media tak pernah lepas dari desain dan penyuntingan. Dengan memahami proses produksi dalam media maka nilai-nilai yang –dicoba- disampaikan oleh media tidak begitu saja menjadi referensi. Dengan kata lain, perlu adanya second opinion dan konsumsi media pembanding.
Ke dua, self-regulation terkait dengan dissonant and consonant exposures. Pemilihan atas sejumlah informasi yang sesuai dengan nilai, norma, kepercayaan, dan kebudayaan menjadi hal yang sebaiknya dilakukan. Penyaringan secara pribadi terhadap nilai-nilai yang tidak relevan menjadi hal mutlak dilakukan untuk melindungi diri dari dampak negatif akibat konsumsi media.
Ke tiga, pengaruh lingkungan pergaulan dalam membentuk self-regulation sangat signifikan. Telaah tentang komunikasi interpersonal membuktikan bahwa komunikasi dengan significant other akan membentuk kecenderungan sikap individu terhadap sesuatu hal. Individu yang bergaul dengan lingkungan yang sadar tentang keunggulan nilai-nilainya akan lebih memilki ketahanan dalam merespon informasi yang tidak sinkron dengan nilai-nilainya.
Ke empat, pada tataran personal, mekanisme pengenalan terhadap diri, nilai, atribut, dan label pada individu menjadi hal dasar yang harus dilakukan untuk dapat menumbuhkan self-regulation. Pada konteks Indonesia, faktor nilai-nilai keagamaan menjadi sangat penting dan mempengaruhi setiap keputusan terhadap konsumsi media. Di luar konteks Indonesia, tingkat fungsional, simbol, dan pengalaman konsumsi media menjadi hal yang dipertimbangkan oleh individu yang bersangkutan saat mengonsumsi media.
Ke lima, penumbuhan inisiasi untuk menjadi attentive atau pun informed public pada tiap individu akan menjadikan self-regulation kian tinggi dan konsisten terhadapnya. Adanya kesadaran sosial untuk mengritik dan memberi kontribusi terhadap kepentingan publik akan menjadikan individu peka terhadap fenomena sosial di sekelilingnya. Dengan demikian, kontrol sosial bukan lagi dimulai dari cakupan kolektif tetapi pada tataran terkecil yang bersifat individual.

Oleh:
Abdul Rohman
Academic Staff
Communication Studies Program
Islamic University of Indonesia

Praktik CSR & Media

Praktik CSR & Media

Perkembangan media tak hanya menuntut kehadiran informasi secara komprehensif dan aktual tetapi juga entertaining. Akan tetapi, lebih dari itu media dituntut juga melakukan aktivitas tanggung jawab social atau corporate social responsibility (CSR) sebagaimana lembaga bisnis lainnya. Lantas, seperti apakah CSR media?
=============================================================
Aktivitas CSR yang dilakukan oleh media barangkali tidak asing lagi di layar kaca. Setiap stasiun TV berlomba mengumpulkan bantuan masyarakat untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Pundi Amal SCTV, Peduli Kasih Indosiar, Dompet Amal ANtv, Indonesia Menangis (Metro TV) dan lain sebagainya merupakan sejumlah aktivitas yang selama ini dianggap sebagai CSR. Pertanyaannya, sudah tepatkah itu?
Aktivitas CSR media dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama, media berperan sebagai fasilitator. Artinya, media hanya menjadi pihak yang memfasilitasi masyarakat yang berkeinginan membantu korban bencana atau siapa pun yang membutuhkan kemudian menyalurkannya. Secara konseptual, perihal ini belum dapat dikatakan sebagai CSR melainkan philanthropy –cikal bakal CSR.
Kedua, media dapat berperan sebagai eksekutor dalam aktivitas CSR. Implikasinya, media bukan hanya sebagai pengumpul dan penyalur melainkan menjadi inisiator dari program CSR sebagai pengejawantahan misi dan visi korporat media. Pada tataran inilah konsep CSR dijalankan oleh media.
Sinergi Media & Korporat
CSR selama ini belumlah mendapat perhatian –news coverage- media. Wajar saja bila ini terjadi. Dalam prakteknya, isu seputar CSR masih dianggap oleh pekerja media sebagai sebuah aktivitas picisan mencari simpati publik oleh korporat. Kondisi semacam ini diperparah juga dengan sedikitnya pemahaman CSR oleh media. Dengan kata lain, pada masing-masing korporat maupun media terdapat sejumlah stereotype yang tidak favorable pada kampanye CSR -khususnya di Indonesia.
Agar stereotype yang melekat pada masing-masing pihak ini terkurangi tentunya diperlukan satu pemahaman yang sama akan prinsip kemitraan yang saling menguntungkan (mutual partnership principle). Korporat tak lagi meragukan kinerja dari pekerja media dalam memilih dan memilah isu CSR dengan publisitas. Sebaliknya, pekerja media pun tidak lagi berpikir bahwa korporat adalah “iblis” yang menghalalkan segala cara guna memperoleh simpati melalui pemberitaan.
Untuk itu, kini, sebuah sinergi yang mutualis antara media dan korporat pun dirintis guna menjalankan aktivitas CSR. Media dengan kemampuan publisitasnya menjalankan aktivitas CSR sebagai partner dari korporat dalam menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat.
Tak hanya itu, sinergi ini juga diharapkan mampu melakukan sebuah community development seperti mencerdaskan kehidupan bangsa, pemberdayaan kelompok kelas bawah, konservasi lingkungan, dan perlindungan terhadap anak.
Yang menjadi catatan adalah jangan sampai sinergi ini menghilangkan esensi dari CSR sebagai komitmen moral lembaga bisnis untuk “membalas budi” kepada komuniti. Sinergi ini penting dilakukan guna mengkampanyekan isu CSR tetapi bukan berarti tanpa sebuah supervisi dari auditor yang representatif. Dengan demikian, aktivitas CSR benar-benar dapat terlaksana secara transparan dan dipahami oleh seluruh stakeholders.

Oleh:
Abdul Rohman
Prodi Ilmu Komunikasi UII

LSF, Perlukah?

LSF, Perlukah?

Sejumlah pekerja seni yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) menuntut agar Lembaga Sensor Film (LSF) dibubarkan. Lembaga ini dalam pelaksanaan tugasnya dituding melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi –melalui pemotongan sejumlah scene yang seringkali membuat cerita film tidak nyambung. Selain itu, sejumlah anggota LSF juga tidak memiliki hak untuk menentukan mana yang baik atau pun buruk berdasar kaidah moral. Lantas, Apakah pembubaran LSF merupakan alternatif terbaik saat ini?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Isu seputar kinerja LSF –sensor film- sebenarnya telah menggelontor semenjak lebih kurang 9 tahun silam. Revisi UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman telah lama dimunculkan akan tetapi hingga sekarang tak kunjung menemui ujungnya. Sekuel berikutnya pun kembali dilanjutkan. Isu sensor menyensor ini kembali memanas setelah sejumlah sutradara film Perempuan Punya Cerita -Upi Avianto, Nia Dinata, Fatimah T. Rony, dan Lasja F. Susatyo- merasa gusar akibat filmnya dipotong yang berimbas pada tidak nyambungnya alur cerita.
Semangat menuntut pembubaran LSF bukanlah tanpa alasan. Selain dirasa tidak efektif kinerjanya, LSF –yang bertugas menyensor bukan hanya film tetapi juga sinetron- telah mandul akibat terpaan informasi, kemajuan teknologi, dan perkembangan showbiz. Apalagi, sebagai contoh nyata, bila itu dikaitkan dengan sejumlah sinetron produksi kejar tayang. Sinetron ini bisa jadi selesai diproduksi jam satu siang kemudian tayang jam enam sore. Lantas, bagaimanakah rasionalisasi mekanisme penyensoran itu dilakukan?
Alasan lainnya adalah LSF seharusnya tidak terjebak pada jenis penyensoran adegan yang mengandung unsur seksualitas dan sadistis –dengan dalih ini dapat merusak moral bangsa. Akibat adanya pemotongan ini, tak jarang kejadian faktual yang ada di masyarakat pun tak mampu tersuguhkan. Dengan lain kata, hak masyarakat untuk mendapat informasi telah dikebiri. Dalam konteks ini, LSF –sebagai lembaga di bawah pemerintah- telah melakukan represi terhadap pekerja seni.
Solusi rusaknya moral bangsa bukan dengan memangkas kebebasan mengakses informasi. Justru, penyampaian informasi –lewat film- yang mampu merefleksikan kehidupan masyarakat secara apa adanya akan mampu menjadi sebuah kritik sosial bagi masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut, yang akan berlaku di sini adalah self regulations pada diri anggota masyarakat. Self regulations inilah yang akan “membimbing” individu -sesuai dengan frame of references dan field of experiences- untuk memilih informasi mana yang ingin mereka terima dan mana yang tidak (self-sensors). Ketika masyarakat mampu melakukan mekanisme ini dalam dirinya maka represi terselubung –dalam bentuk regulasi secara formal- tidak lagi diperlukan. Hanya saja, untuk mencapai tataran ini, masyarakat dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mencerna media. Singkatnya, media literacy menjadi hal mutlak yang harus senantiasa dikampanyekan dan diselenggarakan untuk menciptakan publik yang peka, peduli, dan kritis terhadap media –termasuk film.
Media Literacy
Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Media literacy –yang sering disalahkaprahkan dengan salah satu menu tak terpisahkannya, yakni media education- secara ringkas dapat dimaknai sebagai semacam keterampilan yang ada pada diri individu untuk memahami sifat, latar belakang produksi, desain, dan unsur-unsur lain dalam produk komunikasi – dalam konteks ini adalah film, televisi, dan jenis media massa yang lain. Konsep ini juga berusaha menjelaskan gagasan-gagasan tentang bagaimana mekanisme media dalam melakukan messages delivery dan mengapa demikian. Lebih jauh, media literacy juga mengajak publik untuk dapat memanfaatkan/mengonsumsi media secara kritis dan bijak.
Sejumlah aktivitas untuk mengampanyekan -menyelenggarakan- media literacy dapat ditempuh. Salah satunya, secara formal, adalah usaha untuk memasukkan media literacy dalam kurikum sekolah. Di sisi lain, gerakan grass root untuk mengampanyekan media literacy ini dilakukan dengan sosialisasi penanaman kesadaran dan pengembangan prinsip-prinsip dasar media literacy –sebagaimana terkandung dalam definisinya. Melalui mekanisme ini lahirlah sejumlah metode dan materi-materi media literacy yang sesuai dengan kondisi psikografis dan demografis masyarakat yang bersangkutan.
Penyebaran informasi tentang media literacy tak hanya ditujukan kepada orang tua dengan latar belakang beragam tetapi juga ditujukan untuk anak-anak. Dalam proses media literacy untuk anak ini diperlukan tidak hanya partisipasi orang tua tetapi juga bagaimana menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk menerapkan prinsip dasar dari media literacy. Tidak hanya itu, komitmen dari professional, pelaku bisnis media -film- juga diperlukan. Mereka tidak hanya berusaha menghasilkan sebuah tontonan tetapi juga tuntunan.
Semangat untuk menjadikan masyarakat melek terhadap media ini –sekarang- memang telah banyak mendapat perhatian. Tak luput pada media yang bernama film. Film bukan hanya sarana hiburan tetapi juga sebuah sarana pendidikan. Film di Indonesia –setiap tahun sekitar 15 buah film diproduksi dengan kisaran penonton 5-6 juta orang- belum memiliki kategorisasi yang jelas. Kategorisasi ini terkait dengan untuk siapakah film tersebut diproduksi yang berakibat setiap lapisan usia dapat mengosnsumsinya. Kondisi ini tentunya diperparah bahwa dari sekian banyak konsumen itu belum seluruhnya melek terhadap media. Di sisi lain, peran LSF –sebagai badan formal untuk “melindungi” masyarakat dari dampak negatif film- tengah dipertanyakan. Bahkan, dituntut untuk dibubarkan. Lantas, di tengah pergolakan proses ini, apakah yang dapat dilakukan untuk tetap melindungi publik?
Klasifikasi Film
Meskipun semangat mengedukasi publik agar melek terhadap media tengah gencar bukan berarti tanpa kendala dan masih harus menuai jalan yang panjang. Untuk itu, di tengah berlangsungnya proses tersebut, diperlukan sebuah mekanisme penggolongan –klasifikasi- terhadap film (media).
Penggolongan ini, secara kasat mata, dapat dilakukan dengan pemberian sejumlah pesan secara eksplisit siapa yang diperbolehkan menonton film. Petunjuk itu antara lain –mengadaptasi dari British Board of Film Classifications (BBFC)- universal admission atau semua umur, parental guidance (PG) dimana anak-anak diperbolehkan menonton asalkan orangtua mengetahui adanya sejumlah adegan yang mungkin tidak cocok. Ada 12 tahun yang sesuai bagi penonton untuk 12 tahun atau lebih. Ada 15 tahun yang cocok untuk 15 tahun, ada yang 18 tahun diizinkan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas, dan ada R 18 diizinkan untuk diputar untuk bioskop-bioskop tertentu saja karena muatan filmnya. Metode klasifikasi ini dilakukan sangat ketat, melalui tema dan bahasa.
Pada konteks Indonesia –dengan pertimbangan ini adalah bangsa timur yang menjunjung nilai moral dan religiusitas- bisa jadi penglasifikasian itu ditambah untuk usia 21 tahun di mana film tertentu hanya dapat ditonton oleh mereka yang sudah berusia 21 atau lebih. Penglasifikasian ini pun sudah seharusnya berimplikasi tidak hanya pada pemberian kesempatan penonton untuk memilih film yang sesuai bagi mereka tetapi juga berimplikasi pada setiap produsen film. Artinya, produsen film diwajibkan untuk mencantumkan klasifikasi filmnya pada setiap materi publikasi dan promosi secara gamblang. Contohnya, pemberian label 18+ yang tertera besar pada setiap media promosi film Tiga Hari Untuk Selamanya yang diproduseri oleh Mira Lesmana. Harapannya melalui pencantuman klasifikasi ini, publik –melalui self regulation yang dimilikinya- tidak kecewa/salah dalam mengonsumsi informasi/pesan dalam film tersebut.
Klasifikasi film, sebelum LSF mampu meningkatkan efektivitas kinerjanya atau munculnya lembaga baru yang lebih baik, klasifikasi film dirasa menajdi alternatif dalam usaha melindungi konsumen film di tengah belum meratanya media literacy. Tak hanya itu, pihak lain yang relevan –seperti penyelenggara gedung bioskop, penjual DVD/VCD- juga harus dilibatkan sehingga tidak setiap orang dapat mengonsumsi film tertentu -yang tidak sesuai dengan data psikografisnya.

Oleh:
Abdul Rohman
Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi
FPSB-UII Yogyakarta

Model Komunikasi Lingkungan

Model Komunikasi Lingkungan

Karakteristik media yang massive menjadikannya mampu mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak oleh khalayak. Oleh karena itu, peran media dalam penumbuhan kesadaran khalayak untuk menjaga lingkungan sangat diperlukan. Aktivitas komunikasi lingkungan menjadi hal vital untuk dilakukan guna menciptakan gaya hidup khalayak yang peduli dan ramah terhadap lingkungan alam demi keberlanjutan kehidupan.
Komunikasi lingkungan diartikan sebagai proses komunikasi dua arah yang bertujuan untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya kesadaran tentang dampak dari kerusakan lingkungan dan vitalnya menumbuhkan perilaku hidup ramah lingkungan demi keberlangsungan kehidupan dan keberlanjutan generasi mendatang.
Perilaku ramah lingkungan merupakan kecenderungan dari cara bersikap dan memandang lingkungan bukan sekedar sebagai tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup tetapi sebagai komponen yang harus dijaga, dilestarikan, dan ditumbuhkan keberlanjutannya.
Kerusakan lingkungan yang berimbas pada rentetan bencana alam yang terjadi belakangan ini memicu pentingnya penyadaran khalayak untuk berperilaku ramah lingkungan. Media mampu menunjukkan perannya melalui peningkatan terpaan isu lingkungan. Dengan ini, pesan repetitive tentang lingkungan akan semakin dekat dengan khalayak untuk kemudian dapat mempengaruhi sisi kognitif dan konatifnya.
Model Komunikasi Lingkungan
Sejumlah level komunikasi dapat digunakan sebagai model dalam penyampaian komunikasi lingkungan. Pada level terkecil, komunikasi interpersonal memiliki kemampuan mengubah pandangan dan perilaku individu lebih efektif karena kemampuannya untuk mencapai bagian personal dari partisipan komunikasi. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi orang-orang terdekat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak dari kerusakaannya.
Pada level komunikasi kelompok, komunikasi lingkungan dilakukan oleh sejumlah orang yang saling bertukar pesan dan informasi secara kontinyu. Model komunikasi lingkungan melalui kelompok kecil sangat cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang komunal dan senang dengan kegiatan nongkrong dan kumpul-kumpul.
Sejumlah kebijakan organisasi yang dihasilkan melalui komunikasi organisasi dapat diarahkan pada kebijakan-kebijakan yang memperhatikan lingkungan. Kebijakan ini tidak hanya menjadi sebuah pemanis bibir tetapi sudah menjadi sebuah budaya organisasi yang mewarnai setiap lapisan manajemen organisasi. Contohnya adalah penyelenggaraan program tanggung jawab sosial perusahaan yang mengedepankan isi lingkungan sebagai platform.
Pada level komunikasi yang memiliki dampak lebih besar dalam mempengaruhi khalayak yakni komunikasi massa. Komunikasi lingkungan dapat disampaikan dalam bentuk peliputan isu lingkungan, penyajian program acara yang mengandung pesan kepedulian dan perilaku ramah lingkungan, serta penyelenggaraan agenda –on air maupun off air- yang mengampanyekan dampak kerusakan lingkungan kepada khalayak luas.
Komunikasi Lingkungan untuk Anak
Posisi anak-anak sebagai generasi masa depan memerlukan pengenalan terhadap perilaku ramah lingkungan sejak awal. Tentunya model komunikasi yang dipilih untuk ini berbeda dengan orang dewasa.
Penanaman prinsip menjaga lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan karakter dasar anak-anak, yakni menyukai berbagai kegiatan menyenangkan dalam permainan. Penggunaan metode yang dekat dengan mereka seperti penggunaan cerita bergambar, film animasi, dan pendidikan anatomi lingkungan dapat dipilih sebagai alternatif.
Cerita bergambar dan penggunaan film animasi yang bermuatan isu lingkungan untuk mendekatkan mereka dengan perilaku seperti apa yang mendukung kelestarian lingkungan dan mana yang tidak melalui potret kehidudupan yang disajikan dalam gambar-gambar untuk menarik perhatian anak-anak.
Pendidikan anatomi lingkungan berusaha mendekatkan anak-anak dengan lingkungan alam secara nyata. Dengan demikian, mereka dapat berinteraksi secara langsung dengan lingkungan dan mengetahui peran dan manfaat lingkungan dalam menunjang keberlangsungan kehidupan manusia.
Selain pendidikan, baik formal maupun nonformal, komunikasi lingkungan dengan target anak-anak memerlukan peran orang tua/keluarga secara khusus. Fase imitasi pada anak-anak yang tengah berlangsung menjadikan mereka mudah sekali untuk mencontoh/meniru setiap tindakan yang diamatinya di lingkungan sekitar. Untuk itu, orang dewasa (orang tua/anggota keluarga) harus mampu menumbuhkan keluarga yang beratmosfir kepedulian pada lingkungan. Interaksi anak-anak dengan orang dewasa di sekelilingnya akan membentuk kecenderungan, cara pandang, sikap, dan perilaku mereka di kemudian hari setelah dewasa.
Media dan Komunikasi Lingkungan
Komunikasi lingkungan melalui media massa tidak hanya ditujukan untuk orang dewasa teteapi pada keseluruhan lapisan demografis dan psikografis. Salah satu media massa yang menaruh perhatian besar pada penyelamatan lingkungan adalah Metro TV dengan sejumlah programnya seperti Let’s Go Green dan Minutes Green.
Banyaknya jumlah dan ragam media di Indonesia seharusnya mampu mengampanyekan isu tentang pemanasan global, perubahan iklim, efek rumah kaca, dampak deforestrasi, manajemen sampah, hemat energi, dan perilaku ramah lingkungan lainnya secara luas dan dalam berbagai tampilan. Artinya, kampanye lingkungan untuk mencapai segala kategori lapisan masyarakat dapat dilakukan dengan tampilan yang berbeda dan menarik sesuai dengan minat khalayak.
Program acara yang menjadi favorit penonton pemirsa televisi seperti sinetron dan infotainment dapat dijadikan sebagai kendaraan penyampaian pesan tentang perilaku ramah lingkungan. Penyelipan (issues placement) perilaku ramah dan peduli lingkungan dalam potongan adegan sinetron dan peningkatan ekspose kegiatan pesohor (as endorser function) dalam menjaga kelestarian lingkungan akan menjadi motivator bagi khalayak untuk berperilaku sama –asumsi ini didasarkan pada agenda setting theory dan cultivation theory serta audience selective principle.
Kekuatan media dalam menyampaikan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosial dan mempengaruhi sikap khalayak secara luas memegang peran vital dalam komunikasi lingkungan. Untuk itu, pelaku usaha media juga perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang gerakan lingkungan dan aktivitas penyelamatan bumi. Media memegang peran utama dalam melakukan komunikasi hijau pada khalayak luas.

Abdul Rohman
Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi
FPSB - UII

Potret Queer di TV

Potret Queer di TV

Queer dalam bahasa Jerman berarti bengkok, miring, atau salah. Kemudian, pada tahun 1920-an kata tersebut digunakan untuk merujuk pada kaum homoseksual yang laki-laki. Dalam perkembangannya kata ini menunjukkan antonim dari “kaum normal”, atau “heteroseksual”.
Memotret wajah queer di media, terutama televisi Indonesia, seperti meihat sebuah perjalanan yang tak pernah surut. Pada akhir 80-an, ada Si Emon (diperankan oleh Didi Petet dalam film “Catatan Si Boy”), disusul periode 10 tahun berikutnya oleh Ozzy Syahputra dan Ade Juwita (sinetron “Si Manis Jembatan Ancol”), kemudian sekarang ini kita melihat hampir setiap hari tampilan Nona Igun (Ivan Gunawan dalam Mamamia), Aming (Extravaganza), Olga Syahputra (ex. ExtravanzABG), Tessy (Srimulat, Sante Bareng Yuk, Ketawa Spesial, dll), Irvan Hakim (Ngelenong Nyok). Tak cuma itu, hampir tiap hari Hj. Dorce Halimatussyadiyah Gamalama juga akrab menyapa pemirsa TransTV selama satu jam dalam Dorce Show. Galeri potret ini kian lengkap dengan banyaknya iklan, video klip, dan sinetron yang menampilkan sosok queer –baik yang benar-banar dimainkah oleh queer person maupun yang “jadi-jadian”- sebagai tokohnya. Bahkan, kini muncul acara terbaru, “Be A Man” yang menampilkan sosok queer sebagai konsep program reality show.
Potret Queer di TV
Mencermati kian luasnya kesempatan yang diberikan media kepada kaum queer merupakan sebuah fenomena bahwa kelompok ini adalah nyata dan menjadi fenomena tersendiri dalam realitas sosial. Hanya saja, potret yang ditampilkan media masih jauh dari apa yang diharapkan oleh aktivis pemerhati gender dan identitas seksual.
Queer, sampai saat ini, lebih sering ditampilkan sebagai pelengkap penderita, pemanis, dan bahan lelucon. Lihat saja penampilan Aming dalam Extravaganza yang senantiasa menampilkan sosok perempuan ekstrim dengan dandanan berlebihan. Demikian pula dengan Olga Syahputra yang senantiasa menjadi bahan ejekan dan lelucon dalam setiap acara yang dibintanginya. Meskipun penggambaran terhadap eksistensi mereka yang mendapat penerimaan dari lingkungan tercermin tetapi kondisi ini tentu saja belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang dialami oleh kaum queer dalam realitas yang seringkali mengalami pelecehan, pemarginalan, bahkan kekerasan baik secara psikologis maupun fisik.
Berbeda dengan uraian di atas, potret queer secara positif ditampilkan oleh Dorce sebagai sosok yang cerdas dan shalihah dalam acara yang dipandunya. Demikian halnya dengan Ivan Gunawan yang menjadi representasi queer sebagai sosok yang kreatif, perfeksionis, dan multitalenta. Dalam konteks kedua figur ini, queer bukan lagi dijadikan sebagai pelengkap penderita melainkan sebagai tokoh yang sejajar dengan kelas gender yang lain –laki-laki & perempuan.
Queer sebagai komoditas
Tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah acara yang menampilkan queer sebagai salah satu pengisinya –baik tokoh sentral maupun pendamping- mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, bahkan melahirkan ikon-ikon baru. Di dunia presenter dikenal Dave Hendrik dan Dorce, Ivan Gunawan berkibar dengan label desain bajunya, di ranah komedi Aming, Olga, dan Tessy menjadi top of mind dari pemirsa televisi.
Televisi swasta sebagai lembaga bisnis yang memang secara natural berusaha memenuhi permintaan pasar mengangkat fenomena ini. Hampir setiap hari kita disuguhi dengan tontonan yang dipenuhi dengan kaum queer. Tidak hanya presenter acaranya tetapi juga pengisi acaranya. Bahkan, berita dalam infotainment sekarang pun tak sungkan-sungkan lagi mengangkat isu tentang ini –skandal Krisna Mukti dengan salah satu pengusaha di Kalimantan, foto mesra Evan Sanders dengan teman prianya, perihal Betrand Antolin dan Indra L. Brugman, dll.
Bahkan, dalam salah satu episode Cerita Pagi yang ditayangkan Tran TV, diceritakan bagaimana kisah seorang waria yang menjalani kerasnya sanksi masyarakat terhadap dirinya yang berakibat pada sulitnya ia untuk mencari penghasilan selain ngamen di jalanan. Demikian pula, pada sejumlah sinetron yang menampilkan bagaimana seorang queer mengalami proses pertobatan –dengan menjadi laki-laki heteroseksual.
Yang terbaru, program reality show “Be A Man” yang ditayangkan Global TV menampilkan sekelompok queer yang digembleng dalam sebuah kamp militer agar mereka menjadi laki-laki kembali. Dalam tayangannya, celotehan, cara berpakaian, berdandan, dan kondisi emosi pesertanya sedemikian rupa menjadi sebuah tontonan yang –kurang- menarik. Fenomena acara ini seolah memandang queer bukan sebagai sebuah pilihan tetapi lebih pada sebuah keterpaksaan akibat faktor ekonomi dan lingkungan. Lebih lanjut, fenomena queer bukan hanya bersinggungan dengan menjadikan lelaki “melambai” menjadi lelaki macho. Akan tetapi, ini adalah bersinggungan dengan kondisi psikologis dan kenyamanan individu dalam memilih peran gendernya sebagai implikasi konstruksi sosial.
Tanpa bermaksud menyalahkan televisi, queer dianggap sebagai komoditas ekonomi media yang hanya digunakan sebagai kendaraan pendongkrak rating dan iklan. Queer bukan dianggap sebagai fenomena sosial yang seharusnya dipotret secara berimbang, bukan hanya sebagai pelengkap penderita. Queer, sebagaimana semangat yang ingin diusung oleh feminist, dapat digambarkan sebagai sosok yang mandiri, mampu melakukan adjustment terhadap lingkungan, serta diakui memiliki orientasi seksual tertentu.
Queer dan Keterbukaan Homoseksual di Indonesia
Merujuk pada pendapat Moh Yasir Alimi perihal orientasi seksual sebagai bentukan sosial, maka fenomena keterbukaan orientasi seksual queer di Indonesia juga harus disikapi sebagai sebuah keberagaman. Dede utomo dalam bukunya “Memberi Suara pada yang Bisu” mengampanyekan agar queer di Indonesia kian berani untuk mengungkap jati dirinya –dalam istilah queer dikenal istilah “kloset;menutup diri”, “came out;membuka diri”.
Semakin gencarnya media memberikan peluang untuk berkarya bagi kaum queer, tampaknya juga berpengaruh pada kian banyaknya organisasi yang memperjuangkan hak-hak mereka. Bahkan, perkawinan di antara sesama queer pun telah beberapa kali terjadi di Indonesia –pada tahun 90-an akhir Pyramide Cafe di jalan Bantul menjadi salah satu saksinya.
Irshad Manji penulis “Beriman Tanpa Rasa Takut” yang kebetulan adalah lesbian mengatakan bahwa orientasi seksual yang berbeda selama ini digambarkan sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan senantiasa dikonfrontasikan dengan nilai-nilai agama. Hasilnya, muncul represi agama terhadap kemerdekaan individu. Pernyataan lebih fenomenal lagi muncul dari Prof. Musdah Mulia yang dimuat dalam salah satu koran bahwa gay/lesbian adalah legal karena orientasi seksual tidak pernah membedakan manusia di mata Tuhan. Berkaca pada fenomena ini, lantas bagaimanakan sikap Anda?

Oleh:
Abdul Rohman
Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII

Marketing Politik di Belantara Golput

Marketing Politik di Belantara Golput

Kekhawatiran tingginya angka golput menghantui pemilu tahun depan. Masa kampanye yang hampir setahun bisa menjadi sebuah arena “jualan” yang sengit. Apabila bagi parpol –yang jumlahnya mencapai 34- yang tidak jeli menembak pasar, panjangnya waktu yang ada hanya akan menghasilkan kejenuhan dan apatisme konstituen. Tak pelak, ramalan bahwa golput akan menjadi pemenang pun nyata. Menghadapi masa kampanye yang panjang dan hantu golput, parpol dan sejumlah figur dituntut memiliki strategi marketing yang tepat.
Hasil pilkada di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan trend meningkatnya jumlah yang tidak memilih (golput). Golput di Jawa Barat mencapai 35%, mengalahkan pasangan pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih. Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Untuk pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Sementara tempat lain juga cukup tinggi seperti Kalsel (40%), Sumbar (37 %), Jambi (34 %), Banten 40%, dan Kepri 46 %.
Fenomena tingginya golput ini bukannya tak beralasan. Alasan paling besar adalah ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap performa politik yang ada sekarang ini. Jejak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5% dari responden menganggap kinerja DPR buruk, 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat.
Political Marketing Public Relations
Meskipun akan terdengar miring –dengan alasan filosofis bahwa politik bukan dagangan-, penggunaan strategi marketing yang meliputi segmenting, targeting, dan positioning mau tidak mau harus digencarkan oleh sejumlah parpol dan figur yang akan berkiprah di pesta demokrasi mendatang. Penggunaan perencanaan komunikasi politik yang didasarkan pada fungsi marketing public relations menjadi pilihan yang cukup menjanjikan.
Produk dari marketing politik adalah parpol/figur tertentu. Produk yang baik senantiasa diinginkan oleh konsumen –pemilih. Kategori produk yang baik adalah produk yang mampu memberi kepuasan kepada konsumen, mengetahui siapa konsumennya, dan bagaimana menjangkau mereka. Untuk parpol lama, boleh jadi, akan terasa lebih mudah karena awareness konsumen sudah terbentuk –baik sebagai produk yang baik atau pun sebaliknya. Dalam survey terbaru CSIS tentang prilaku pemilih (Juli 2008) tergambar loyalitas pemilih pemilu 2004 untuk memilih kembali partai yang sama pada pemilu 2009 cukup beragam. Loyalitas pemilih PKS sangat tinggi. Sebanyak 75,4 persen pemilih yang pada Pemilu 2004 lalu memilih PKS, menyatakan akan kembali memilih PKS pada Pemilu 2009, sedangkan loyalitas pemilih Partai Golkar sebesar 61 persen, diikuti PDIP sebesar 55,1 persen. Sementara loyalitas terhadap PAN, PPP, PD turun secara drastis. Inilah ceruk pasar, ditambah dengan potensi berubah pikiran dari kelompok golput ataupun floating mass, yang dapat digarap oleh sejumlah parpol baru – baik dengan muka lama maupun dengan muka yang benar-benar baru.
Sebagai sebuah produk, parpol harus melakukan pengembangan kualitasnya. Kualitas yang buruk tidak akan mampu dijual oleh strategi dan tenaga pemasaran sehebat apapun. Sebaliknya, produk yang bagus pun tidak akan terjual dengan baik tanpa diimbangi strategi komunikasi pemasaran yang jitu. Pemilihan strategi komunikasi konvensional yang bersifat satu arah sudah seharusnya diganti dengan komunikasi dialogis yang melibatkan konsumen. Penggunaan atribut kepartaian dan kampanye iklan di media massa memang masih diperlukan tetapi dalam kepungan 34 parpol pesan politik akan sangat mudah dilupakan oleh konsumen. Untuk itu, langkah-langkah dan senjata public relations pun harus gencar dilakukan. Fungsi inilah yang akan membangun pencitraan dan membangun brand parpol di benak konsumen.
Mempertimbangkan selera konsumen yang mulai bergeser, pemilihan metode kampanye dengan konvoi yang berpotensi kerusuhan dan kemacetan sebaiknya ditinggalkan. Cara ini hanya akan menjadikan konsumen tidak simpati. Unjuk kekuatan –yang seringkali dijadikan sebagai pembenaran- dapat dilakukan dengan melakukan event marketing public relations yang bertujuan mengedukasi konsumen tentang kualitas produk. Pemberian janji yang muluk dan tidak realitis juga hanya akan menjadi boomerang. Penyampaian janji, visi, dan misi parpol disampaikan dengan pesan-pesan yang didasarkan pada penggunaan simbol dan kalimat-kalimat positif dan progresif. Keberanian untuk mengakui kekurangan dan kelemahan bisa menjadi sebuah nilai positif di mata konsumen. Di sisi lain, komunikasi keunggulan produk disampaikan secara santun, rendah hati, dan mengakomodasi setiap kepentingan.
Media baru
Strategi marketing public relations yang dilakukan parpol selama ini memang masih –senang- menggunakan media konvensional –media cetak dan elektronik. Kini, sekitar 100 juta penduduk Indonesia menggunakan ponsel dan sebagian masyarakat mengakses internet sekitar 1-2 jam perhari. Belum lagi, situs pencarian teman seperti friendster dan facebook yang hampir setiap hari dikunjungi oleh peminatnya. Pastinya media baru ini dapat digunakan sebagai media marketing.
Misalkan untuk menjaring pemilih muda, friendster dan facebook bisa menjadi pilihan yang menggiurkan. Situs ini sangat populer di kalangan anak muda. Pesan-pesan politik dapat disampaikan dengan simbol-simbol yang akrab dengan anak muda yang menyukai sesuatu yang ringan, kreatif, dan tidak konvensional.
Strategi lain yang dapat dipilih adalah dengan menggunakan karakteristik terkuat dari konsumen Indonesia yakni komunikasi gethok tular. Tentunya ini membutuhkan kader-kader parpol yang mampu menjadi juru bicara dan edukator produk yang cerdas dan elegan. Pemilihan “juru bicara” yang salah hanya akan menjadikan konsumen tidak simpati apalagi melalui metode yang “annoying” –ada salah satu parpol yang mendatangi pintu ke pintu kemudian membujuk dan membagikan CD parpol kepada penduduk. Sebuah cara using yang sudah lama sekali dipandang tidak efektif karena konsumen yang kian jenuh dengan “sales”. Daripada demikian, cara pemberian edukasi berdasar komunitas akan terkesan lebih efektif dan elegan –lihat contoh sukses produk Tupper Ware.
Konsumen politik yang cerdas
Konsumen politik yang cerdas adalah konsumen yang menggunakan hak pilihnya secara rasional. Artinya, keputusan “pembelian” bukan karena dorongan emosional. Kalau pilihan masih dilekatkan pada loyalitas penggunaan endorser –figur politik sebagai vote getter- maka kemampuan untuk mengkritisi ini juga harus dimiliki. Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang membeli produk sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan politik seperti apa yang kita inginkan? Pertanyaan inilah yang harus dijawab terlebih dahulu. Kemudian lakukan “window shopping” untuk semua produk politik yang ada. Dengan demikian, kita akan mendapat semacam gambaran besar yang dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pembelian –memilih.

Oleh:
Abdul Rohman
Prodi Ilmu Komunikasi
FPSB _UII