Thursday, July 31, 2008

Homophobia di Media

Homophobia dalam Media

Maraknya pemberitaan tentang kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan –yang kebetulan gay- seolah menyudutkan kaum yang termarginalkan ini. Peristiwa yang seharusnya kriminal murni dikupas habis setiap hari dari sudut pandang bahwa gay adalah agresif, posesif, tidak stabil, dan merupakan penyakit sosial. Apabila ini terus berlanjut, bisa jadi, akan meningkatkan homophobia dalam masyarakat. Lantas, sudah pasti, perjuangan kaum minoritas di negeri ini akan kian menemui jalan terjal.
Ryan, sang pelaku mutilasi, memang benar telah memakan korban –yang kebetulan juga gay- dengan alasan cemburu dan pengambilan kekayaan orang lain. Kalau dilihat dari motif pembunuhan yang dilakukan dapat diketahui bahwa motif ini sangatlah manusiawi dan natural. Seharusnya, sudut pandang yang dipakai bukan karena dia seroang gay yang membunuh gay lainnya – yang kemudian diketahui bahwa tidak semua korbannya adalah gay- tetapi perampokan/perampasan harta orang lain dan kecemburuan juga dapat terjadi pada masyarakat heteroseksual –masyarakat “normal”.
Berdasarkan penyidikan yang dilakukan aparat ditemukan 5 korban dalam kasus ini. Dari kelimanya, hanya satu di antaranya yang dilatarbelakangi kisah romantisme sejenis. Selebihnya, hanya kriminalitas yang dapat terjadi dan dilakukan oleh siapa saja tanpa mempedulikan ketertarikan seksualnya. Ini menandakan bahwa pembunuhan itu dipicu oleh kondisi tidak stabil pelaku. Sebuah kondisi yang, sekali lagi, dapat juga dimiliki oleh kelompok masyarakat kebanyakan. Celakanya, inilah yang sedikit sekali diungkap dalam media.
Sudut pandang dalam pemberitaan yang tidak proporsional ini tentu saja akan menjadikan masyarakat awam yang belum tentu semuanya memahami dunia gay akan kian merasa cemas, takut, berprasangka negatif, melecehkan/menjadikan gay sebagai objek penderita, dan tidak menghargainyay sebagai pilihan seksual. Kondisi semacam ini disebut dengan homophobia, yang menurut Charles Zastrow, didefinisikan sebagai suatu kondisi kecemasan ketika berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang memilki orientasi seksual kepada sejenisnya –gay dan lesbian.

Gay: Variasi orientasi seksual atau penyakit?
Pemberitaan yang –lagi-lagi- tidak proporsional tentang kasus ini pun seolah diamini oleh sejumlah pakar. Misalkan, kriminolog UI, Andrianus Meliala dalam salah satu situs internet mengungkapkan bahwa hubungan sesama jenis bukan merupakan hubungan yang sehat, hanyalah kisah Platonist, yang tidak mengenal perselingkuhan sehingga menyebabkan pelakunya posesif. Faktor terakhir inilah yang kemudian menguap di media terkait kasus mutilasi Ryan. Pernyataan ini juga diperkuat oleh psikolog, Liza Malrielly Djaprie, yang menyatakan bahwa gay/lesbian merupakan hal yang bisa disembuhkan asal bukan bawaan lahir. Dari kedua pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa sudut pandang yang dipakai adalah homophobia dan gay sebagai sebuah penyakit –merujuk pada kata “disembuhkan”.
Berbeda dengan pengamatan di atas, Zastrow mengungkap bahwa berdasar penelitian Kinsey di Amerika ternyata sekitar 50% warganya memilki pengalaman melakukan hubungan seksual sejenis. Dalam catatan Gaya Nusantara, salah satu organisasi gay di Indonesia, jumlah gay di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta orang. Jadi, singkatnya gay adalah bukan penyakit melainkan semacam bentuk dari variasi orientasi seksual. Orientasi seksual secara mudah dapat diartikan sebagai ketertarikan individu terhadap jenis kelamin tertentu. Apabila gay adalah sebuah orientasi seksual maka ini bukanlah penyakit. Hal inilah yang kemudian secara tegas WHO menyatakan bahwa homoseksual bukanlah penyakit.
Sikap Masyarakat: Normal Vs Tidak Normal
Gay –dimengerti sebagai lelaki yang menyukai lelaki, bukan waria- di Indonesia dikarakterisasikan sebagai kelompok yang lebih senang menyembunyikan identitasnya. Alasan norma dan nilai-nilai agama menjadi pertimbangan untuk tidak membuka diri (come out) –ditambah lagi dengan karakter kebudayaan kita yang judgmental. Ini dapat dipahami mengingat pandangan masyarakat yang belum bisa –tidak mau?- menerima gay dengan alasan tersebut di atas. Kondisi yang belum “terinformasikan” ini akan menjadi hal yang berpotensi terhadap munculnya homophobia. Bahkan, Dr Mamoto Gultom, konsultan lembaga PBB untuk UNAIDS, menyatakan bahwa secara kualitatif hampir semua orang Indonesia mengidap homophobia.
Persepsi masyarakat yang hanya memilah orientasi seksual menjadi dua bahwa lelaki harus dengan perempuan dan sebaliknya melahirkan sebuah konstruksi bahwa selain pilihan itu adalah tidak normal. Padahal, sebenarnya perilaku –gay- ini dapat dilihat dalam beberapa perspektif.
Pertama, homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik –secara medis disebut dengan biogenic. Pada jenis ini kecenderungan gay telah ada dalam diri seseorang semenjak dilahirkan sehingga, bisa dikatakan, di luar kontrol yang bersangkutan. Ke dua, gay yang disebabkan karena salah asuh sehingga berpengaruh terhadap orientasi seksualnya. Kesalahan pola asuh ini dapat berupa kehilangan figur/panutan tentang peran laki-laki dan perempuan, trauma seksual yang dilakukan oleh kelamin sejenis, atau pun pengalaman ingin coba-coba.
Ke tiga, gay sebagai gaya hidup. Individu menjadi gay karena ingin diterima dalam pergaulannya. Dengan lain kata, pengaruh lingkungan pergaulan dapat menjadikan seseorang berubah orientasi seksualnya. Inilah yang juga sering disalahkaprahkan bahwa gay dapat menular. Gay bukanlah penyakit sehingga tidak akan menular. Berubahnya orientasi seksual karena pergaulan merupakan sebuah keinginan yang dapat dimiliki –atau dipilih- oleh setiap individu.
Dari uraian di atas, jelas bahwa munculnya pemberitaan tentang agresivitas yang direpresentasikan media sebagai kondisi psikologis kaum gay secara berkelanjutan akan berkontribusi membentuk stereotype negatif terhadap kaum gay. Dengan kata lain, pemberitaan ini akan memberikan pandangan yang tidak sepenuhnya benar kepada masyarakat tentang kaum gay. Kondisi inilah yang turut memicu homophobia menjadi lebih akut dalam masyarakat. Semestinya, kasus Ryan dalam konteks ini, dimaknai sebagai suatu tindakan kriminal murni dan tidak dilihat dari sudut pandang ke-gay-annya.
Abdul Rohman
Prodi Ilmu Komunikasi FPSB - UII

No comments: