Thursday, July 31, 2008

LSF, Perlukah?

LSF, Perlukah?

Sejumlah pekerja seni yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) menuntut agar Lembaga Sensor Film (LSF) dibubarkan. Lembaga ini dalam pelaksanaan tugasnya dituding melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi –melalui pemotongan sejumlah scene yang seringkali membuat cerita film tidak nyambung. Selain itu, sejumlah anggota LSF juga tidak memiliki hak untuk menentukan mana yang baik atau pun buruk berdasar kaidah moral. Lantas, Apakah pembubaran LSF merupakan alternatif terbaik saat ini?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Isu seputar kinerja LSF –sensor film- sebenarnya telah menggelontor semenjak lebih kurang 9 tahun silam. Revisi UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman telah lama dimunculkan akan tetapi hingga sekarang tak kunjung menemui ujungnya. Sekuel berikutnya pun kembali dilanjutkan. Isu sensor menyensor ini kembali memanas setelah sejumlah sutradara film Perempuan Punya Cerita -Upi Avianto, Nia Dinata, Fatimah T. Rony, dan Lasja F. Susatyo- merasa gusar akibat filmnya dipotong yang berimbas pada tidak nyambungnya alur cerita.
Semangat menuntut pembubaran LSF bukanlah tanpa alasan. Selain dirasa tidak efektif kinerjanya, LSF –yang bertugas menyensor bukan hanya film tetapi juga sinetron- telah mandul akibat terpaan informasi, kemajuan teknologi, dan perkembangan showbiz. Apalagi, sebagai contoh nyata, bila itu dikaitkan dengan sejumlah sinetron produksi kejar tayang. Sinetron ini bisa jadi selesai diproduksi jam satu siang kemudian tayang jam enam sore. Lantas, bagaimanakah rasionalisasi mekanisme penyensoran itu dilakukan?
Alasan lainnya adalah LSF seharusnya tidak terjebak pada jenis penyensoran adegan yang mengandung unsur seksualitas dan sadistis –dengan dalih ini dapat merusak moral bangsa. Akibat adanya pemotongan ini, tak jarang kejadian faktual yang ada di masyarakat pun tak mampu tersuguhkan. Dengan lain kata, hak masyarakat untuk mendapat informasi telah dikebiri. Dalam konteks ini, LSF –sebagai lembaga di bawah pemerintah- telah melakukan represi terhadap pekerja seni.
Solusi rusaknya moral bangsa bukan dengan memangkas kebebasan mengakses informasi. Justru, penyampaian informasi –lewat film- yang mampu merefleksikan kehidupan masyarakat secara apa adanya akan mampu menjadi sebuah kritik sosial bagi masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut, yang akan berlaku di sini adalah self regulations pada diri anggota masyarakat. Self regulations inilah yang akan “membimbing” individu -sesuai dengan frame of references dan field of experiences- untuk memilih informasi mana yang ingin mereka terima dan mana yang tidak (self-sensors). Ketika masyarakat mampu melakukan mekanisme ini dalam dirinya maka represi terselubung –dalam bentuk regulasi secara formal- tidak lagi diperlukan. Hanya saja, untuk mencapai tataran ini, masyarakat dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mencerna media. Singkatnya, media literacy menjadi hal mutlak yang harus senantiasa dikampanyekan dan diselenggarakan untuk menciptakan publik yang peka, peduli, dan kritis terhadap media –termasuk film.
Media Literacy
Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Media literacy –yang sering disalahkaprahkan dengan salah satu menu tak terpisahkannya, yakni media education- secara ringkas dapat dimaknai sebagai semacam keterampilan yang ada pada diri individu untuk memahami sifat, latar belakang produksi, desain, dan unsur-unsur lain dalam produk komunikasi – dalam konteks ini adalah film, televisi, dan jenis media massa yang lain. Konsep ini juga berusaha menjelaskan gagasan-gagasan tentang bagaimana mekanisme media dalam melakukan messages delivery dan mengapa demikian. Lebih jauh, media literacy juga mengajak publik untuk dapat memanfaatkan/mengonsumsi media secara kritis dan bijak.
Sejumlah aktivitas untuk mengampanyekan -menyelenggarakan- media literacy dapat ditempuh. Salah satunya, secara formal, adalah usaha untuk memasukkan media literacy dalam kurikum sekolah. Di sisi lain, gerakan grass root untuk mengampanyekan media literacy ini dilakukan dengan sosialisasi penanaman kesadaran dan pengembangan prinsip-prinsip dasar media literacy –sebagaimana terkandung dalam definisinya. Melalui mekanisme ini lahirlah sejumlah metode dan materi-materi media literacy yang sesuai dengan kondisi psikografis dan demografis masyarakat yang bersangkutan.
Penyebaran informasi tentang media literacy tak hanya ditujukan kepada orang tua dengan latar belakang beragam tetapi juga ditujukan untuk anak-anak. Dalam proses media literacy untuk anak ini diperlukan tidak hanya partisipasi orang tua tetapi juga bagaimana menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk menerapkan prinsip dasar dari media literacy. Tidak hanya itu, komitmen dari professional, pelaku bisnis media -film- juga diperlukan. Mereka tidak hanya berusaha menghasilkan sebuah tontonan tetapi juga tuntunan.
Semangat untuk menjadikan masyarakat melek terhadap media ini –sekarang- memang telah banyak mendapat perhatian. Tak luput pada media yang bernama film. Film bukan hanya sarana hiburan tetapi juga sebuah sarana pendidikan. Film di Indonesia –setiap tahun sekitar 15 buah film diproduksi dengan kisaran penonton 5-6 juta orang- belum memiliki kategorisasi yang jelas. Kategorisasi ini terkait dengan untuk siapakah film tersebut diproduksi yang berakibat setiap lapisan usia dapat mengosnsumsinya. Kondisi ini tentunya diperparah bahwa dari sekian banyak konsumen itu belum seluruhnya melek terhadap media. Di sisi lain, peran LSF –sebagai badan formal untuk “melindungi” masyarakat dari dampak negatif film- tengah dipertanyakan. Bahkan, dituntut untuk dibubarkan. Lantas, di tengah pergolakan proses ini, apakah yang dapat dilakukan untuk tetap melindungi publik?
Klasifikasi Film
Meskipun semangat mengedukasi publik agar melek terhadap media tengah gencar bukan berarti tanpa kendala dan masih harus menuai jalan yang panjang. Untuk itu, di tengah berlangsungnya proses tersebut, diperlukan sebuah mekanisme penggolongan –klasifikasi- terhadap film (media).
Penggolongan ini, secara kasat mata, dapat dilakukan dengan pemberian sejumlah pesan secara eksplisit siapa yang diperbolehkan menonton film. Petunjuk itu antara lain –mengadaptasi dari British Board of Film Classifications (BBFC)- universal admission atau semua umur, parental guidance (PG) dimana anak-anak diperbolehkan menonton asalkan orangtua mengetahui adanya sejumlah adegan yang mungkin tidak cocok. Ada 12 tahun yang sesuai bagi penonton untuk 12 tahun atau lebih. Ada 15 tahun yang cocok untuk 15 tahun, ada yang 18 tahun diizinkan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas, dan ada R 18 diizinkan untuk diputar untuk bioskop-bioskop tertentu saja karena muatan filmnya. Metode klasifikasi ini dilakukan sangat ketat, melalui tema dan bahasa.
Pada konteks Indonesia –dengan pertimbangan ini adalah bangsa timur yang menjunjung nilai moral dan religiusitas- bisa jadi penglasifikasian itu ditambah untuk usia 21 tahun di mana film tertentu hanya dapat ditonton oleh mereka yang sudah berusia 21 atau lebih. Penglasifikasian ini pun sudah seharusnya berimplikasi tidak hanya pada pemberian kesempatan penonton untuk memilih film yang sesuai bagi mereka tetapi juga berimplikasi pada setiap produsen film. Artinya, produsen film diwajibkan untuk mencantumkan klasifikasi filmnya pada setiap materi publikasi dan promosi secara gamblang. Contohnya, pemberian label 18+ yang tertera besar pada setiap media promosi film Tiga Hari Untuk Selamanya yang diproduseri oleh Mira Lesmana. Harapannya melalui pencantuman klasifikasi ini, publik –melalui self regulation yang dimilikinya- tidak kecewa/salah dalam mengonsumsi informasi/pesan dalam film tersebut.
Klasifikasi film, sebelum LSF mampu meningkatkan efektivitas kinerjanya atau munculnya lembaga baru yang lebih baik, klasifikasi film dirasa menajdi alternatif dalam usaha melindungi konsumen film di tengah belum meratanya media literacy. Tak hanya itu, pihak lain yang relevan –seperti penyelenggara gedung bioskop, penjual DVD/VCD- juga harus dilibatkan sehingga tidak setiap orang dapat mengonsumsi film tertentu -yang tidak sesuai dengan data psikografisnya.

Oleh:
Abdul Rohman
Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi
FPSB-UII Yogyakarta

No comments: