Thursday, July 31, 2008

Self-Regulation dalam Konsumsi Media

Self-Regulation dalam Konsumsi Media

Self-Regulation diartikan sebagai sebuah mekanisme mandiri dalam diri individu untuk memilih, memilah, memberikan kecenderungan dan sikap yang didasarkan pada sejumlah komponen personal dan sosial yang dimikinya seperti pengalaman, tingkat pendidikan, dan latar belakang lingkungan pergaulan. Faktor ini harus dimiliki oleh setiap individu untuk menjadi konsumen media yang cerdas. Konsumen media yang cerdas adalah konsumen yang mampu menggunakan media didasarkan unsur kesesuaian antara kepentingan individunya dengan kepentingannya sebagai makhluk sosial. Penyesuaian ini terjadi melalui sebuah cybernetic system dalam diri individu yang memungkinkan terjadinya pengolahan informasi dari luar dengan segenap tingkatan dan ragam nilai yang dimilikinya.
Tak hanya ragam media cetak yang kian tersegmen pasarnya tetapi juga sejumlah media elektronik baik berlangganan atau pun tidak yang kian beraneka rupa sajiannya. Maraknya perkembangan pilihan media dewasa ini tentunya berkontribusi pada munculnya sejumlah pilihan informasi yang ingin kita terima. Lantas, apakah kita sudah cukup siap untuk menjadi konsumen media yang cerdas dalam memilih?
Untuk menjadi konsumen media yang cerdas dalam memilih dan memilah informasi yang disampaikan media, setiap individu dituntut untuk melakukan self-sensor berdasarkan self-regulation yang dimilikinya. Hal ini bergantung pada tingkat kecerdasan personal dalam memaknai pesan media, intensitas komunikasi dengan lingkungan pergaulan, pengalaman dan pendidikan.
Semakin tinggi kualitas self-regulation yang dimiliki oleh individu maka peraturan formal seperti sensor, pemblokiran situs internet, maupun penutupan sejumlah kanal komunikasi tertentu dengan tujuan (dalih) untuk melindungi kepentingan publik tidak lagi diperlukan. Selain mempertimbangkan efektivitasnya, setiap individu memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama dalam mengakses, menerima, maupun menyebarkan informasi.
Self-regulation, bukan information restriction
Kondisi geografis, demografis, maupun psikografis masyarakat Indonesia yang beragam berimplikasi pada perbedaan kemampuan untuk menumbuhkembangkan self-regulation per individu. Karena ada perbedaan tingkat self-regulation inilah solusi pemblokiran dan sensor merupakan langkah yang memukul rata /menafikan keragaman kemampuan individu tersebut. Semestinya solusi yang ditawarkan bukanlah hal semacam itu melainkan cukup pengualifikasian dan kesempatan bersyarat. Artinya, setiap individu tetap terlindungi haknya atas informasi dengan sejumlah kualifikasi dan persyaratan tertentu. Hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah kualifikasi film sebagai reaksi atas tindakan lembaga sensor. Perspektif lain yang muncul akibat pembatasan (pemblokiran) informasi akan merangsang individu untuk mencari infromasi melalui media lain di luar sistem. Kecenderungan untuk merusak/menerobos sistem (contoh system hacking) akan muncul.
Segala macam peraturan dapat dibentuk dan diberlakukan tetapi penumbuhan self regulations jauh lebih penting. perubahan kognitif dan pendidikan tentang media jauh lebih tepat daripada pemberlakuan undang-undnag yang kurang mempertimbangkan kemampuan individu dalam memaknai pesan dan kecenderungan sikap atas suatu fenomena. Singkatnya, kebijakan yang diambil –sensor dan pemblokiran- bukanlah sebuah upaya untuk menumbuhkan self-regulation dan pendidikan khalayak melainkan represi penguasa terhadap hak warga negara. Perlakuan terhadap individu yang telah dewasa tentu saja tidak dapat disamakan dengan anak-anak.
Penonton anak-anak
Perlindungan terhadap konsumen media pada kategori anak-anak inilah yang harus menjadi fokus perlindungan utama. Anak-anak belum memiliki referensi yang cukup untuk dapat menetapkan self-regulation sendiri. Perlindungan terhadap anak dalam konsumsi media menjadi tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga setiap elemen masyarakat terutama keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dikenal anak-anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi pada 2007 lalu, sekitar 62 persennya menyajian kekerasan.
Cara perlindungan anak terhadap media bisa dilakukan baik dengan aktivitas melek media yang secara spesifik ditujukan untuk mereka maupun aktivitas sejenis yang ditujukan untuk orang tua. Pada fokus perlindungan untuk anak inilah penguasa dapat memberikan perannya dengan pemberlakuka sejumlah perangkat hukum.
Bagaimana menumbuhkan self-regulation?
Pertama, pahami realitas yang muncul dalam media. Kenyataan di media tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya karena sajian media tak pernah lepas dari desain dan penyuntingan. Dengan memahami proses produksi dalam media maka nilai-nilai yang –dicoba- disampaikan oleh media tidak begitu saja menjadi referensi. Dengan kata lain, perlu adanya second opinion dan konsumsi media pembanding.
Ke dua, self-regulation terkait dengan dissonant and consonant exposures. Pemilihan atas sejumlah informasi yang sesuai dengan nilai, norma, kepercayaan, dan kebudayaan menjadi hal yang sebaiknya dilakukan. Penyaringan secara pribadi terhadap nilai-nilai yang tidak relevan menjadi hal mutlak dilakukan untuk melindungi diri dari dampak negatif akibat konsumsi media.
Ke tiga, pengaruh lingkungan pergaulan dalam membentuk self-regulation sangat signifikan. Telaah tentang komunikasi interpersonal membuktikan bahwa komunikasi dengan significant other akan membentuk kecenderungan sikap individu terhadap sesuatu hal. Individu yang bergaul dengan lingkungan yang sadar tentang keunggulan nilai-nilainya akan lebih memilki ketahanan dalam merespon informasi yang tidak sinkron dengan nilai-nilainya.
Ke empat, pada tataran personal, mekanisme pengenalan terhadap diri, nilai, atribut, dan label pada individu menjadi hal dasar yang harus dilakukan untuk dapat menumbuhkan self-regulation. Pada konteks Indonesia, faktor nilai-nilai keagamaan menjadi sangat penting dan mempengaruhi setiap keputusan terhadap konsumsi media. Di luar konteks Indonesia, tingkat fungsional, simbol, dan pengalaman konsumsi media menjadi hal yang dipertimbangkan oleh individu yang bersangkutan saat mengonsumsi media.
Ke lima, penumbuhan inisiasi untuk menjadi attentive atau pun informed public pada tiap individu akan menjadikan self-regulation kian tinggi dan konsisten terhadapnya. Adanya kesadaran sosial untuk mengritik dan memberi kontribusi terhadap kepentingan publik akan menjadikan individu peka terhadap fenomena sosial di sekelilingnya. Dengan demikian, kontrol sosial bukan lagi dimulai dari cakupan kolektif tetapi pada tataran terkecil yang bersifat individual.

Oleh:
Abdul Rohman
Academic Staff
Communication Studies Program
Islamic University of Indonesia

No comments: