Thursday, July 31, 2008

Marketing Politik di Belantara Golput

Marketing Politik di Belantara Golput

Kekhawatiran tingginya angka golput menghantui pemilu tahun depan. Masa kampanye yang hampir setahun bisa menjadi sebuah arena “jualan” yang sengit. Apabila bagi parpol –yang jumlahnya mencapai 34- yang tidak jeli menembak pasar, panjangnya waktu yang ada hanya akan menghasilkan kejenuhan dan apatisme konstituen. Tak pelak, ramalan bahwa golput akan menjadi pemenang pun nyata. Menghadapi masa kampanye yang panjang dan hantu golput, parpol dan sejumlah figur dituntut memiliki strategi marketing yang tepat.
Hasil pilkada di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan trend meningkatnya jumlah yang tidak memilih (golput). Golput di Jawa Barat mencapai 35%, mengalahkan pasangan pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih. Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Untuk pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Sementara tempat lain juga cukup tinggi seperti Kalsel (40%), Sumbar (37 %), Jambi (34 %), Banten 40%, dan Kepri 46 %.
Fenomena tingginya golput ini bukannya tak beralasan. Alasan paling besar adalah ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap performa politik yang ada sekarang ini. Jejak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5% dari responden menganggap kinerja DPR buruk, 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat.
Political Marketing Public Relations
Meskipun akan terdengar miring –dengan alasan filosofis bahwa politik bukan dagangan-, penggunaan strategi marketing yang meliputi segmenting, targeting, dan positioning mau tidak mau harus digencarkan oleh sejumlah parpol dan figur yang akan berkiprah di pesta demokrasi mendatang. Penggunaan perencanaan komunikasi politik yang didasarkan pada fungsi marketing public relations menjadi pilihan yang cukup menjanjikan.
Produk dari marketing politik adalah parpol/figur tertentu. Produk yang baik senantiasa diinginkan oleh konsumen –pemilih. Kategori produk yang baik adalah produk yang mampu memberi kepuasan kepada konsumen, mengetahui siapa konsumennya, dan bagaimana menjangkau mereka. Untuk parpol lama, boleh jadi, akan terasa lebih mudah karena awareness konsumen sudah terbentuk –baik sebagai produk yang baik atau pun sebaliknya. Dalam survey terbaru CSIS tentang prilaku pemilih (Juli 2008) tergambar loyalitas pemilih pemilu 2004 untuk memilih kembali partai yang sama pada pemilu 2009 cukup beragam. Loyalitas pemilih PKS sangat tinggi. Sebanyak 75,4 persen pemilih yang pada Pemilu 2004 lalu memilih PKS, menyatakan akan kembali memilih PKS pada Pemilu 2009, sedangkan loyalitas pemilih Partai Golkar sebesar 61 persen, diikuti PDIP sebesar 55,1 persen. Sementara loyalitas terhadap PAN, PPP, PD turun secara drastis. Inilah ceruk pasar, ditambah dengan potensi berubah pikiran dari kelompok golput ataupun floating mass, yang dapat digarap oleh sejumlah parpol baru – baik dengan muka lama maupun dengan muka yang benar-benar baru.
Sebagai sebuah produk, parpol harus melakukan pengembangan kualitasnya. Kualitas yang buruk tidak akan mampu dijual oleh strategi dan tenaga pemasaran sehebat apapun. Sebaliknya, produk yang bagus pun tidak akan terjual dengan baik tanpa diimbangi strategi komunikasi pemasaran yang jitu. Pemilihan strategi komunikasi konvensional yang bersifat satu arah sudah seharusnya diganti dengan komunikasi dialogis yang melibatkan konsumen. Penggunaan atribut kepartaian dan kampanye iklan di media massa memang masih diperlukan tetapi dalam kepungan 34 parpol pesan politik akan sangat mudah dilupakan oleh konsumen. Untuk itu, langkah-langkah dan senjata public relations pun harus gencar dilakukan. Fungsi inilah yang akan membangun pencitraan dan membangun brand parpol di benak konsumen.
Mempertimbangkan selera konsumen yang mulai bergeser, pemilihan metode kampanye dengan konvoi yang berpotensi kerusuhan dan kemacetan sebaiknya ditinggalkan. Cara ini hanya akan menjadikan konsumen tidak simpati. Unjuk kekuatan –yang seringkali dijadikan sebagai pembenaran- dapat dilakukan dengan melakukan event marketing public relations yang bertujuan mengedukasi konsumen tentang kualitas produk. Pemberian janji yang muluk dan tidak realitis juga hanya akan menjadi boomerang. Penyampaian janji, visi, dan misi parpol disampaikan dengan pesan-pesan yang didasarkan pada penggunaan simbol dan kalimat-kalimat positif dan progresif. Keberanian untuk mengakui kekurangan dan kelemahan bisa menjadi sebuah nilai positif di mata konsumen. Di sisi lain, komunikasi keunggulan produk disampaikan secara santun, rendah hati, dan mengakomodasi setiap kepentingan.
Media baru
Strategi marketing public relations yang dilakukan parpol selama ini memang masih –senang- menggunakan media konvensional –media cetak dan elektronik. Kini, sekitar 100 juta penduduk Indonesia menggunakan ponsel dan sebagian masyarakat mengakses internet sekitar 1-2 jam perhari. Belum lagi, situs pencarian teman seperti friendster dan facebook yang hampir setiap hari dikunjungi oleh peminatnya. Pastinya media baru ini dapat digunakan sebagai media marketing.
Misalkan untuk menjaring pemilih muda, friendster dan facebook bisa menjadi pilihan yang menggiurkan. Situs ini sangat populer di kalangan anak muda. Pesan-pesan politik dapat disampaikan dengan simbol-simbol yang akrab dengan anak muda yang menyukai sesuatu yang ringan, kreatif, dan tidak konvensional.
Strategi lain yang dapat dipilih adalah dengan menggunakan karakteristik terkuat dari konsumen Indonesia yakni komunikasi gethok tular. Tentunya ini membutuhkan kader-kader parpol yang mampu menjadi juru bicara dan edukator produk yang cerdas dan elegan. Pemilihan “juru bicara” yang salah hanya akan menjadikan konsumen tidak simpati apalagi melalui metode yang “annoying” –ada salah satu parpol yang mendatangi pintu ke pintu kemudian membujuk dan membagikan CD parpol kepada penduduk. Sebuah cara using yang sudah lama sekali dipandang tidak efektif karena konsumen yang kian jenuh dengan “sales”. Daripada demikian, cara pemberian edukasi berdasar komunitas akan terkesan lebih efektif dan elegan –lihat contoh sukses produk Tupper Ware.
Konsumen politik yang cerdas
Konsumen politik yang cerdas adalah konsumen yang menggunakan hak pilihnya secara rasional. Artinya, keputusan “pembelian” bukan karena dorongan emosional. Kalau pilihan masih dilekatkan pada loyalitas penggunaan endorser –figur politik sebagai vote getter- maka kemampuan untuk mengkritisi ini juga harus dimiliki. Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang membeli produk sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan politik seperti apa yang kita inginkan? Pertanyaan inilah yang harus dijawab terlebih dahulu. Kemudian lakukan “window shopping” untuk semua produk politik yang ada. Dengan demikian, kita akan mendapat semacam gambaran besar yang dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pembelian –memilih.

Oleh:
Abdul Rohman
Prodi Ilmu Komunikasi
FPSB _UII

No comments: