Thursday, July 31, 2008

Potret Queer di TV

Potret Queer di TV

Queer dalam bahasa Jerman berarti bengkok, miring, atau salah. Kemudian, pada tahun 1920-an kata tersebut digunakan untuk merujuk pada kaum homoseksual yang laki-laki. Dalam perkembangannya kata ini menunjukkan antonim dari “kaum normal”, atau “heteroseksual”.
Memotret wajah queer di media, terutama televisi Indonesia, seperti meihat sebuah perjalanan yang tak pernah surut. Pada akhir 80-an, ada Si Emon (diperankan oleh Didi Petet dalam film “Catatan Si Boy”), disusul periode 10 tahun berikutnya oleh Ozzy Syahputra dan Ade Juwita (sinetron “Si Manis Jembatan Ancol”), kemudian sekarang ini kita melihat hampir setiap hari tampilan Nona Igun (Ivan Gunawan dalam Mamamia), Aming (Extravaganza), Olga Syahputra (ex. ExtravanzABG), Tessy (Srimulat, Sante Bareng Yuk, Ketawa Spesial, dll), Irvan Hakim (Ngelenong Nyok). Tak cuma itu, hampir tiap hari Hj. Dorce Halimatussyadiyah Gamalama juga akrab menyapa pemirsa TransTV selama satu jam dalam Dorce Show. Galeri potret ini kian lengkap dengan banyaknya iklan, video klip, dan sinetron yang menampilkan sosok queer –baik yang benar-banar dimainkah oleh queer person maupun yang “jadi-jadian”- sebagai tokohnya. Bahkan, kini muncul acara terbaru, “Be A Man” yang menampilkan sosok queer sebagai konsep program reality show.
Potret Queer di TV
Mencermati kian luasnya kesempatan yang diberikan media kepada kaum queer merupakan sebuah fenomena bahwa kelompok ini adalah nyata dan menjadi fenomena tersendiri dalam realitas sosial. Hanya saja, potret yang ditampilkan media masih jauh dari apa yang diharapkan oleh aktivis pemerhati gender dan identitas seksual.
Queer, sampai saat ini, lebih sering ditampilkan sebagai pelengkap penderita, pemanis, dan bahan lelucon. Lihat saja penampilan Aming dalam Extravaganza yang senantiasa menampilkan sosok perempuan ekstrim dengan dandanan berlebihan. Demikian pula dengan Olga Syahputra yang senantiasa menjadi bahan ejekan dan lelucon dalam setiap acara yang dibintanginya. Meskipun penggambaran terhadap eksistensi mereka yang mendapat penerimaan dari lingkungan tercermin tetapi kondisi ini tentu saja belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang dialami oleh kaum queer dalam realitas yang seringkali mengalami pelecehan, pemarginalan, bahkan kekerasan baik secara psikologis maupun fisik.
Berbeda dengan uraian di atas, potret queer secara positif ditampilkan oleh Dorce sebagai sosok yang cerdas dan shalihah dalam acara yang dipandunya. Demikian halnya dengan Ivan Gunawan yang menjadi representasi queer sebagai sosok yang kreatif, perfeksionis, dan multitalenta. Dalam konteks kedua figur ini, queer bukan lagi dijadikan sebagai pelengkap penderita melainkan sebagai tokoh yang sejajar dengan kelas gender yang lain –laki-laki & perempuan.
Queer sebagai komoditas
Tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah acara yang menampilkan queer sebagai salah satu pengisinya –baik tokoh sentral maupun pendamping- mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, bahkan melahirkan ikon-ikon baru. Di dunia presenter dikenal Dave Hendrik dan Dorce, Ivan Gunawan berkibar dengan label desain bajunya, di ranah komedi Aming, Olga, dan Tessy menjadi top of mind dari pemirsa televisi.
Televisi swasta sebagai lembaga bisnis yang memang secara natural berusaha memenuhi permintaan pasar mengangkat fenomena ini. Hampir setiap hari kita disuguhi dengan tontonan yang dipenuhi dengan kaum queer. Tidak hanya presenter acaranya tetapi juga pengisi acaranya. Bahkan, berita dalam infotainment sekarang pun tak sungkan-sungkan lagi mengangkat isu tentang ini –skandal Krisna Mukti dengan salah satu pengusaha di Kalimantan, foto mesra Evan Sanders dengan teman prianya, perihal Betrand Antolin dan Indra L. Brugman, dll.
Bahkan, dalam salah satu episode Cerita Pagi yang ditayangkan Tran TV, diceritakan bagaimana kisah seorang waria yang menjalani kerasnya sanksi masyarakat terhadap dirinya yang berakibat pada sulitnya ia untuk mencari penghasilan selain ngamen di jalanan. Demikian pula, pada sejumlah sinetron yang menampilkan bagaimana seorang queer mengalami proses pertobatan –dengan menjadi laki-laki heteroseksual.
Yang terbaru, program reality show “Be A Man” yang ditayangkan Global TV menampilkan sekelompok queer yang digembleng dalam sebuah kamp militer agar mereka menjadi laki-laki kembali. Dalam tayangannya, celotehan, cara berpakaian, berdandan, dan kondisi emosi pesertanya sedemikian rupa menjadi sebuah tontonan yang –kurang- menarik. Fenomena acara ini seolah memandang queer bukan sebagai sebuah pilihan tetapi lebih pada sebuah keterpaksaan akibat faktor ekonomi dan lingkungan. Lebih lanjut, fenomena queer bukan hanya bersinggungan dengan menjadikan lelaki “melambai” menjadi lelaki macho. Akan tetapi, ini adalah bersinggungan dengan kondisi psikologis dan kenyamanan individu dalam memilih peran gendernya sebagai implikasi konstruksi sosial.
Tanpa bermaksud menyalahkan televisi, queer dianggap sebagai komoditas ekonomi media yang hanya digunakan sebagai kendaraan pendongkrak rating dan iklan. Queer bukan dianggap sebagai fenomena sosial yang seharusnya dipotret secara berimbang, bukan hanya sebagai pelengkap penderita. Queer, sebagaimana semangat yang ingin diusung oleh feminist, dapat digambarkan sebagai sosok yang mandiri, mampu melakukan adjustment terhadap lingkungan, serta diakui memiliki orientasi seksual tertentu.
Queer dan Keterbukaan Homoseksual di Indonesia
Merujuk pada pendapat Moh Yasir Alimi perihal orientasi seksual sebagai bentukan sosial, maka fenomena keterbukaan orientasi seksual queer di Indonesia juga harus disikapi sebagai sebuah keberagaman. Dede utomo dalam bukunya “Memberi Suara pada yang Bisu” mengampanyekan agar queer di Indonesia kian berani untuk mengungkap jati dirinya –dalam istilah queer dikenal istilah “kloset;menutup diri”, “came out;membuka diri”.
Semakin gencarnya media memberikan peluang untuk berkarya bagi kaum queer, tampaknya juga berpengaruh pada kian banyaknya organisasi yang memperjuangkan hak-hak mereka. Bahkan, perkawinan di antara sesama queer pun telah beberapa kali terjadi di Indonesia –pada tahun 90-an akhir Pyramide Cafe di jalan Bantul menjadi salah satu saksinya.
Irshad Manji penulis “Beriman Tanpa Rasa Takut” yang kebetulan adalah lesbian mengatakan bahwa orientasi seksual yang berbeda selama ini digambarkan sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan senantiasa dikonfrontasikan dengan nilai-nilai agama. Hasilnya, muncul represi agama terhadap kemerdekaan individu. Pernyataan lebih fenomenal lagi muncul dari Prof. Musdah Mulia yang dimuat dalam salah satu koran bahwa gay/lesbian adalah legal karena orientasi seksual tidak pernah membedakan manusia di mata Tuhan. Berkaca pada fenomena ini, lantas bagaimanakan sikap Anda?

Oleh:
Abdul Rohman
Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII

No comments: